| http://dimazmarham.blogspot.com/2009/12/perbedaan-desa-dan-kota.html | |||||
| 
Gejala  Kemiskinan Dalam Perspektif Sejarah. 
Kemiskinan sebagai  gejala dalam masyarakat sudah dikenal sejak makhluk manusia menghuni  bumi, tetapi kesadaran untuk memeranginya guna mewujudkan pemerataan  baru mulai berkembang setelah timbul hubungan antar-bangsa dan negara  yang sekarang bertambah erat, sehingga juga kita dapat membandingkan  mana yang kaya dan mana yang miskin. Sepanjang dapat kita telusuri  kembali sejak manusia beragama, kemiskinan sudah diakui ada, dan semua  agama juga mengandung perintah 
 agar nasib kaum papa  diperbaiki.  Si kaya  harus membagikan sebagian kekayaannya kepada si  miskin karena Allah Sang Pencipta memberikan segala sumberdaya alam di  bumi untuk dapat dimanfaatkan dan dinikmati oleh mahluk manusia secara  merata.. Tetapi kemudian manusia menggagas dan merekayasa tatanan  masyarakat dan ekonomi yang membeda-bedakan penguasaan dan pemanfaatan  atas sumberdaya alam yang kaya. Demikianlah timbul pelapisan dalam  kehidupan bermasyarakat manusia, sehingga yang  kaya menguasai yang  miskin. 
Salah satu kupasan  menarik tentang hubungan antara agama Kristiani dan  tumbuhnya  Kapitalisme pernah ditulis oleh R.H. Tawney (1938) yang dalam kesimpulan  beliau mengutip ahli ekonomi  J. M. Keynes yang berpendapat : “Modern  Capitalism is absolutely irreligious…” sehingga akibatnya keadilan,  kemiskinan dan pemerataan  tidak terlalu diperhatikan. Ratusan tahun  sebelum Masehi, Farao di Mesir sudah mengenal dan memelihara perbudakan.   Di semua benua yang kita kenalpun ada  Raja-raja yang membeda-bedakan  lapisan masyarakat menurut keturunan, sehingga siapapun yang tidak  tergolong “darah biru” hanya bernasib mengabdi kepada Raja dan “kaum  ningrat”. Ada kemajuan sosial berarti setelah sistim perbudakan  menjelang akhir abad ke-19 di beberapa negara dilarang dan selangkah  lebih maju lagi waktu Serikat Bangsa-bangsa (United Nations) melarang  segala bentuk perbudakan, yaitu dalam bentuk 33 negara anggota yang  menandatangani UN Convention 1956. Namun demikian berbagai bentuk  eksploitasi kaum papa oleh mereka yang berkuasa dan kaya masih  berlangsung di banyak negara. 
Perlakuan pekerja dan  buruh sebagai budak dalam sistim ekonomi mutakhir pun masih terjadi  dewasa ini dan mungkin berbenih dalam pemikiran ahli ekonomi klasik Adam  Smith (1776) yang mengemukakan prinsip “Survival of the Fittest”, mirip  dengan kehidupan di hutan rimba.  Dalam kancah persaingan yang kuat  akan menang dan yang lemah akan musnah. Prinsip demikian sebenarnya  dalam ekonomi liberal masih berlaku juga antara perusahaan besar dan  kecil, walaupun cara bersaing semakin ditertibkan melalui undang-undang,  peraturan dan hak  azasi manusia di ranah hukum.  
Bahkan menurut Susan  George (1976) kecuali perusahaan swasta juga ada lembaga-lembaga  internasional seperti misalnya Bank Dunia (IBRD dan IDA) yang melalui  Food Aid menyatakan membantu memerangi kemiskinan, namun dalam kenyataan  membuat negara-negara berkembang semakin tergantung pada negara  industrial yang maju.  Karena itu S. George menyarankan agar  negara-negara berkembang berusaha keras melakukan pembangunan nasional  secara lebih mandiri. Tentu  - menurut kesimpulan penulis – usaha itu  harus dimulai dengan membenahi struktur agraria agar sektor pertanian  yang produktif menyumbang kearah industrialisasi. 
Pemahaman dan  Kesadaran AKATIGA. 
Memahami dan menyadari  perkembangan sebagai dikemukakan diatas Yayasan AKATIGA sejak lahirnya  (September 1991), sebagai pewaris lembaga penelitian IPB (Sosiologi  Pedesaan) – ITB (Lingkungan Hidup) – ISS (Social Studies, Den Haag) yang  bekerja sama antara tahun 1987-1991, turut menyumbangkan melalui  penelitian gagasan untuk mengurangi kemiskinan. Penelitian di daerah  pedesaan mengenai masalah agraria dan petani gurem, maupun di perkotaan  mengenai buruh, UKM dan pemberdayaan perempuan menjadi perhatian utama.   Gerakan perbaikan nasib golongan miskin dan tersisihkan di dunia  sebenarnya sudah timbul di beberapa negara Eropa dan Amerika Latin  menjelang akhir abad ke-19.  
Nama-nama seperti Lenin  dan Stalin di Rusia, Simon Bolivar di Bolivia dan Emilio Zapata di  Mexico tercatat sebagai pendekar pembebas lapisan tertindas.  Juga  gerakan Demokrasi Sosial yang timbul di Jerman dan meluas ke  negara-negara Eropa lain memperjuangkan perbaikan nasib buruh dari  eksploatasi industriawan. Di negara-negara benua Asia kemudian tumbuh  Nasionalisme seperti di India (J. Nehru), Tiongkok (Sun Yat Sen) dan di  negara kita sendiri dengan lahirnya Boedi Oetomo (1908), Sarekat Dagang  Islam (1912) dan Sarekat Islam (1916). Perkembangan Nasionalisme lebih  dipacu lagi setelah dua perang dunia (1914-18 dan 1940-45) karena  dominasi negara-negara industrial barat. 
Di Asia setelah Jepang  dikalahkan oleh Amerika Serikat dengan bom-atom, negara-negara bekas  jajahan Inggris, Belanda, Perancis  dan Amerika Serikat berhasil  membebaskan diri dan menjadi negara merdeka yang sekarang kita kenal  sebagai negara berkembang.  Memang ada yang merebut kemerdekaan melalui  perjuangan bersenjata seperti Indonesia dan Vietnam tetapi ada pula   yang menerima kedaulatan secara damai seperti India, Pakistan,  Bangladesh, Malaysia dan Singapore. Sebagai telah diramalkan oleh S.  George negara-negara industri maju segera menawarkan bantuannya, baik  dalam bentuk produk, hasil industri, pinjaman modal (loan) atau keahlian  teknologi agar ketergantungannya tetap terpelihara.  Hubungan demikian  sering disebut : “Politically independent and economically dependent” 
Pembangunan dan  Kemiskinan. 
Periode setelah  Proklamasi Kemerdekaan  Republik Indonesia untuk dua dasawarsa penuh  dengan kegoncangan politik, dari gerakan DII/TII, APRA, PRRI dan  PERMESTA, konfrontasi dengan Malaysia dan Singapura dan akhirnya dengan  Belanda tentang Irian Barat.  Ketenangan politik nyatanya baru tercapai  setelah peristiwa G-30-S di tahun 1965 dan lahirnya Orde Baru (1966).  Memang dibawah pemerintah Bung Karno dan Bung Hatta pernah ada perumusan  tentang Pembangunan Nasional 1956-1961, dan kemudian Pembangunan  Semesta (1961-1969), tetapi akibat banyak kegoncangan politik praktis  tidak ada hasil yang nyata dalam hal menurunkan kemiskinan.  
Selama pemerintahan  dibawah Jenderal Soeharto ynag lebih sentralistik ada beberapa usaha  yang lebih nyata: pertama pelaksanaan Revolusi Hijau untuk meningkatkan  produksi padi dengan mengimpor teknologi baru seperti pupuk kimia,  obat-obatan melawan serangga, perbaikan dan perluasan jaringan pengairan  dan mekanisasi pertanian. Akibatnya kegiatan di daerah pedesaan  meningkat, tetapi sekaligus juga timbul rasionalisasi dalam masyarakat  tani.  Penanaman padi semakin membutuhkan luas areal sawah, sehingga  petani gurem (<0,5 Ha) tersisihkan.  Bila tidak menjadi buruh tani  diatas tanah sendiri dan bekerja untuk tuan tanah besar, mereka  menawarkan tenaganya di sektor informal perkotaan. Sistim panen bersama  oleh kaum perempuan (derep) dan memperoleh bagian tertentu dari hasil  (bawon) hilang, diganti dengan pemanen bayaran (tebasan). 
Jadi revolusi hijau  meningkatkan kegiatan di pedesaan serta hasil panen padi sehingga  mencpai swa sembada beras (1985), tetapi dipihak lain juga mengurangi  pekerjaan bagi buruh tani (tunakisma) dan petani gurem yang terpaksa  “mengelaju” ke kota.  Gejala Preman, Mang Ogah, Pengemis, Pengamen,  Pencopet, Buruh lepas dan sebagainya makin tampak di daerah perkotaan.  Perkembangan yang kurang menggembirakan itu menarik perhatian UNICEF  juga dan dengan biaya lembaga PBB tersebut Prof. Sajogyo diminta  melakukan evaluasi tentang Usaha Perbaikan Gizi Keluarga di tahun  1973/1974.  Hasil studi berdasarkan survey luas di 15 Kabupaten seluruh  Indonesia yang penting itu melahirkan suatu suatu Garis Kemiskinan untuk  penduduk Indonesia.  Setelah itu Biro Pusat Statistik dan juga Bank  Dunia menyambung dengan survey yang menambah kriteria garis kemiskinan  tersebut. 
Sekarang beberapa  kriteria dapat dimanfaatkan untuk menilai kemiskinan karena Bank Dunia  menambah dengan kriteria dibawah USD $ 1,00 / 2,00 sehari per kapita.  Biro Pusat Statistik, Departemen dan Bank Dunia mulai mengadakan survey  untuk memantau perkembangan tersebut dan dalam rangka inilah juga  dimulai studi oleh beberapa Universitas.  Kerjasama antara Institut  Pertanian Bogor – Institut Teknologi Bandung – dan institute of Social  Studies dari Negeri Belanda melakukan studi tentang keadaan dan  perkembangan di daerah pedesaan (1987-1991).  Peneliti-peneliti ada yang  senior seperti Dr. B. White, Dr. Joan Hardjono, Dr. Ines Smith, tetapi  juga ada peneliti Indonesia yang muda.  Pimpinan ada di tangan tiga  ahli: Prof. Sajogyo (IPB-Sosiologi Pedesaan) – Prof. Hasan Poerbo alm.  (ITB Lingkungan) dan Prof. B. White (I.S.S. Anthropology) yang sekaligus  menjabat Acting Director di kantor Pusat (Jl. Raden Patah 28 Bandung). 
Tanpa mengulas semua  hasil penelitian selama 1987-1991, tetapi hasil umumnya jelas  menunjukkan bahwa daerah pedesaan menghadapi permasalahan seperti  Agraria, kemiskinan, pengangguran, usaha kecil dan peranan perempuan  yang segera perlu ditangani karena mengurangi penderitaan juga  memerlukan waktu yang cukup lama. Ukuran dan definisi kemiskinan memang  masih berbeda-beda.  Prof. Sajogyo di tahun 1974sudah berhasil  merumuskan “garis kemiskinan” berdasarkan nutrisi (pangan per kapita)  -  ada statistik BPS yang menggunakan “pengeluaran per kapita “ per  hari/bulan, sedangkan Bank Dunia berpatokan pada “penghasilan per kapita  sehari” (dibawah USD $ 1,00 atau USD $ 2,00).  Departemen Pertanian  sering menggunakan kriterium “luas tanah garapan” atau “hasil produksi”  dan BKKBN pernah menerapkan kriterium “kualitas tempat tinggal”. 
Sebenarnya menarik  untuk mengkombinasikan beberapa kriteria tersebut.  Menurut Prof. R.  Lawang (2002) yang mengutip BPS penduduk Indonesia tahun 2001 berjumlah  201.703.537  jiwa (dugaan 2007 sudah melebihi 220 juta) atau 43,12% dan  tinggal di perkotaan, sedangkan 56,88% masih tinggal di daerah pedesaan.  Memang dari beberapa sumber statistik timbul gambaran bahwa kemiskinan  antara 1970-1987 menurun.  Misalnya BPS yang menggunakan kriterium  “pengeluaran per kapita” menghasilkan gambaran sebagai berikut : YANG MISKIN DARI JUMLAH PENDUDUK (sample) 
 Pedesaan                          Perkotaan 
 Juta orang    %             Juta orang      % 
 1976        44,2        40,37             10,0           38,79 
 1980        32,8        28,42              9,5            29,04 
 1987        20,3        16,14              8,9            20,14 
Dari sample ini  tampaknya menurunnya % kemiskinan di perkotaan relatif kurang cepat  dibandingkan dengan di pedesaan.  Mungkin ini hasil produksi yang  meningkat selama Revolusi Hijau.  Menurut alm. Dr. Hendra Esmara,  kemiskinan antara 1970 dan 1987 memang menurun untuk Pedesaan  dari  48,5% sampai 44,8%, tetapi di perkotaan justru meningkat dari 7,1 %  menjadi 14,6% atau naik lebih dari 100%, dan ini suatu gejala bahwa  urbanisasi memang meningkat cepat. Bila kita kutip Laporan Bank Dunia  (1990) dapat dibaca bahwa walaupun penduduk miskin (nasional) antara  1980-1987 turun dari 42,3 juta (28,6%) sampai 30,0 juta (17,4%), namun  sebagai diumumkan pemerintah masih ada sekitar 39 juta (17%) yang miskin  dewasa ini (2007).  
Urbanisasi merupakan  jalur pelarian bagi buruh tani dan petani gurem yang dapat menetap di  kota atau menjadi pengelaju.  Satu contoh adalah hasil studi J. Breman  dan G. Wiradi (2005) setelah krisis ekonomi Agustus 1997 juga melanda  negeri kita. Ternyata pasang surut kemiskinan masih akan menggejala  sehingga memerlukan perhatian lembaga pemerintahan baik pusat maupun  daerah, peneliti akademik maupun LSM yang menunjang dan mendorong proses  demokratisasi inilah yang juga menjadi tujuan yayasan AKATIGA. Kalangan  pemerintah maupun media masa tidak jarang memberitakan bahwa keadaan  sudah membaik dibandingkan 1998, karena pertumbuhan ekonomi sudah  melampaui sasaran, tetapi ternyata dari berita-berita internasional  bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berdampak langsung pada penurunan  kemiskinan.  Bukan saja hal ini kita alami di negeri kita tetapi juga  diberitakan antara lain di terbitan mingguan Newsweek (2007). 
Baik di India yang  pertumbuhan ekonominya mencapai 8% setahun dan di RRC yang selama satu  dasawarsa mencapai pertumbuhan ekonomi setinggi 10% setahun kemiskinan  di daerah pedesaan masih menggejala. Untuk para pembaca yang tertarik  dan masih memperihatinkan kemiskinan dalam proses Reformasi negara kita  dilampirkan daftar sejumlah terbitan mengenai kemiskinan dan usaha  memeranginya. Kebijakan pembangunan Indonesia sebagai negara agraris  memang kurang membenahi struktur agraria dalam arti luas, dan lebih  cenderung menjual kekayaan sumberdaya alam (M. Humpreys dkk, 2007), yang  berakibat pertanian mengurangi kedaulatan pangan, timbulnya kemiskinan  dan pengangguran serta penjualan tenaga kerja murah meningkat.  Pada  umumnya modal asing yang ditanam atau dipinjam lebih bersifat “padat  modal” sehingga kesempatan kerja pun terbatas. 
Jadi bila kita masih  ingin mewujudkan keadilan dan pemerataan nasional, penguasaan dan akses  terhadap sumberdaya alam, ialah bumi, air dan ruang angkasa (lingkungan)  harus diatur lebih merata pula.  Mari kita perangi Kutukan Sumberdaya  Alam !!  
Penulis adalah anggota  badan pembina Yayasan AKATIGA 
http://akatiga.org/index.php/artikeldanopini/kemiskinan/113-memerangi-kemiskinan | 
Rabu, 22 Februari 2012
kemiskinan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


 
ia ka.. terimakasih sarannya ya.. :D
BalasHapus